Filter Virtual, Realita Nyata: Kecanduan Media Sosial dan Kesehatan Mental Anak Muda - Abu Salwah

Filter Virtual, Realita Nyata: Kecanduan Media Sosial dan Kesehatan Mental Anak Muda

 

Ilustrasi anak muda memegang ponsel di depan cermin digital, menggambarkan kecanduan media sosial dan dampaknya pada kesehatan mental

Di balik setiap foto yang tampak sempurna, sering tersembunyi wajah yang kelelahan. Dunia digital kini bukan sekadar tempat berbagi, melainkan ruang tempat banyak anak muda membangun citra diri yang terkadang lebih indah daripada kenyataan.


Media sosial, yang dulu lahir sebagai alat komunikasi, kini menjelma menjadi cermin yang menuntut kesempurnaan—sebuah panggung besar tempat semua orang berlomba tampak bahagia.


Kecanduan yang Tak Disadari

Bangun tidur, jempol langsung menggulir layar. Sebelum makan, kamera lebih dulu bekerja. Setiap detik terasa tak lengkap tanpa notifikasi baru.


Inilah fenomena yang disebut digital dopamine—rasa senang yang muncul dari “like” dan komentar. Otak manusia, terutama di usia muda, mudah terjebak dalam pola ini. Layaknya candu, semakin sering diberi rangsangan, semakin tinggi keinginan untuk mengulang.


Banyak penelitian menunjukkan bahwa rata-rata remaja Indonesia bisa menghabiskan lebih dari 4–6 jam per hari di media sosial. Waktu yang semestinya bisa dipakai belajar, berolahraga, atau berinteraksi nyata kini terkikis perlahan.


Bayangan Kesempurnaan

Di balik senyum dan filter, ada tekanan tak kasat mata. Anak muda membandingkan hidupnya dengan potongan terbaik dari hidup orang lain.


Tiap unggahan menjadi ukuran kebahagiaan, tiap komentar bisa jadi luka kecil yang lama sembuhnya.


Fenomena ini dikenal sebagai social comparison effect—ketika seseorang menilai dirinya dengan membandingkan kehidupan orang lain di dunia maya.


Akibatnya? Muncul rasa cemas, rendah diri, bahkan depresi. Mereka merasa “kurang” hanya karena tak memiliki tubuh ideal, barang mahal, atau hubungan cinta seperti yang tampak di layar.


Realita yang Tersisa

Kehidupan nyata berjalan semakin senyap. Meja makan tak lagi ramai percakapan, hanya bunyi notifikasi yang bersahutan. Pertemanan bergeser dari pelukan hangat menjadi “mention” dan “tag”.


Padahal, interaksi manusia yang sesungguhnya justru menjadi fondasi bagi kesehatan mental.


Kelelahan digital (digital fatigue) menjadi istilah baru bagi generasi muda yang kehabisan energi karena terus menatap layar. Tubuh lelah, pikiran bising, hati kosong.


Ironisnya, mereka justru membuka media sosial untuk mencari ketenangan—lingkaran yang berulang tanpa akhir.


Menemukan Kembali Diri Sendiri

Tidak salah menggunakan media sosial. Ia bisa jadi alat luar biasa untuk belajar, berkreasi, dan terhubung.


  • Yang berbahaya adalah ketika media sosial menggantikan identitas asli kita.
  • Langkah kecil bisa dimulai:
  • Matikan notifikasi beberapa jam setiap hari.
  • Batasi waktu layar dengan aplikasi pengingat (screen time tracker).
  • Kembalilah berbicara, bertemu, dan tertawa tanpa kamera.


Tulis jurnal pribadi untuk menyalurkan pikiran yang sering terpendam di kolom komentar.

Anak muda yang sadar digital bukan yang paling sering online, tapi yang tahu kapan harus log off untuk menemukan kembali dirinya.


Filter mungkin bisa memperhalus wajah, tapi tidak bisa menyembuhkan hati. Dunia maya hanyalah cermin—kadang jujur, kadang menipu.

Yang nyata adalah kehidupan di luar layar, tempat tawa tak butuh “caption” dan bahagia tak perlu “likes”.

Mungkin sudah saatnya kita berhenti memoles gambar, dan mulai merawat jiwa.


Baca Juga: 5 Cara Mengubah Rasa Iri di Media Sosial Jadi Motivasi Positif

Posting Komentar untuk "Filter Virtual, Realita Nyata: Kecanduan Media Sosial dan Kesehatan Mental Anak Muda"