Dalam hiruk pikuk kehidupan modern, seringkali kita terjebak dalam ilusi kepemilikan. Kita mengumpulkan harta, mengejar jabatan, dan membangun ambisi seolah-olah semua itu adalah mutlak milik kita. Namun, jika kita berhenti sejenak dan merenungkan hakikat keberadaan, akan kita sadari bahwa sesungguhnya manusia tidak memiliki apa-apa. Segalanya adalah titipan, pinjaman sementara, atau anugerah yang bisa saja diambil kembali kapanpun.
Sejak lahir, kita datang tanpa membawa apapun, dan saat meninggal, kita pun tak akan membawa apapun. Tanah yang kita pijak, udara yang kita hirup, bahkan tubuh yang kita tempati ini, semuanya adalah karunia. Kekayaan materi bisa lenyap dalam sekejap, kesehatan bisa memudar tanpa peringatan, dan hubungan bisa retak seiring waktu. Kesadaran akan fana-nya segala sesuatu ini bukanlah untuk membuat kita putus asa, melainkan untuk membawa kita pada pemahaman yang lebih dalam tentang peran kita di dunia.
Keterbatasan manusia adalah inti dari hakikat ini. Kita tidak bisa mengendalikan takdir, kita tidak bisa memaksa kehendak alam, dan kita tidak bisa menjamin hasil dari setiap usaha. Badai bisa datang merusak panen, pandemi bisa mengubah tatanan hidup, dan keputusan orang lain bisa berdampak besar pada rencana kita. Realitas ini menegaskan bahwa kita bukanlah penguasa mutlak, melainkan bagian dari sistem yang lebih besar.
Jika kita tidak memiliki apa-apa dan penuh keterbatasan, lantas apa peran kita? Di sinilah letak kemuliaan manusia. Meskipun kita tidak memiliki kepastian atas hasil, kita dianugerahi kemampuan yang luar biasa: kemampuan untuk berencana dan berikhtiar.
Berencana adalah anugerah akal dan pikiran. Ini adalah proses merumuskan tujuan, menyusun langkah-langkah, dan membayangkan masa depan yang lebih baik. Perencanaan adalah bukti optimisme, harapan, dan keinginan untuk tumbuh. Tanpa rencana, hidup akan berjalan tanpa arah, seperti perahu tanpa kemudi di tengah lautan. Rencana memberi kita peta, meskipun terkadang harus diubah di tengah jalan.
Setelah rencana tersusun, langkah selanjutnya yang tak kalah krusial adalah **berikhtiar**. Ikhtiar adalah usaha nyata, perjuangan, dan pengerahan seluruh daya upaya yang kita miliki. Ikhtiar adalah tentang konsistensi, kegigihan, dan keberanian menghadapi rintangan. Ini adalah manifestasi dari kemauan untuk berusaha, untuk melakukan yang terbaik dari apa yang bisa kita lakukan, dengan kesadaran penuh bahwa hasil akhir sepenuhnya berada di tangan Yang Maha Kuasa.
Filosofi bahwa manusia hanya bisa berencana dan berikhtiar mengajarkan kita tentang kerendahan hati dan kepasrahan yang sejati. Ketika kita telah mengerahkan seluruh usaha, dan ternyata hasilnya tidak sesuai dengan harapan, kita tidak akan mudah larut dalam kekecewaan mendalam. Kita telah melakukan bagian kita, dan sekarang saatnya menerima apapun yang telah digariskan.
Pemahaman ini membebaskan kita dari beban ekspektasi yang berlebihan. Kita fokus pada proses, pada usaha yang jujur dan tulus, daripada terpaku pada hasil yang belum tentu kita kendalikan. Ini juga mengajarkan kita untuk tidak sombong saat meraih kesuksesan, karena kita tahu itu bukan semata karena kehebatan kita, melainkan juga berkat izin dari Yang Maha Pemberi.
Kehidupan adalah sebuah perjalanan ikhtiar. Kita adalah para perencana dan pekerja keras yang mengolah apa yang diberikan kepada kita, menggunakan potensi yang dianugerahkan, dan menyerahkan hasil akhir kepada Kebijaksanaan Ilahi. Dalam kesadaran bahwa kita tidak memiliki apa-apa, justru di situlah kita menemukan kebebasan sejati untuk terus berkreasi, berusaha, dan bersyukur atas setiap tarikan napas.
Memahami bahwa kita tidak memiliki apa-apa, dan peran kita hanyalah berencana serta berikhtiar, bukanlah suatu bentuk kepasrahan yang pasif. Sebaliknya, pemahaman ini justru membawa sejumlah dampak positif yang mendalam dalam cara kita menjalani hidup, menghadapi tantangan, dan berinteraksi dengan dunia.
Salah satu manfaat terbesar dari kesadaran ini adalah berkurangnya beban dan tekanan stres. Ketika kita merasa harus mengendalikan segalanya, memaksakan hasil, dan menanggung semua tanggung jawab atas setiap peristiwa, kita akan cepat merasa kewalahan. Namun, ketika kita menyadari bahwa hasil akhir bukanlah sepenuhnya kuasa kita, kita bisa melepaskan sebagian besar beban itu. Kita tetap berusaha maksimal, namun dengan pikiran yang lebih tenang, karena kita tahu ada kekuatan yang lebih besar yang mengatur segalanya. Ini memungkinkan kita untuk bernapas lebih lega, bahkan di tengah ketidakpastian.
Ironisnya, pemahaman bahwa kita tidak memiliki apa-apa justru mendorong kita untuk lebih tekun dan pantang menyerah. Mengapa? Karena satu-satunya hal yang benar-benar ada dalam kendali kita adalah usaha dan ikhtiar itu sendiri. Kita tidak bisa menjamin kesuksesan, tapi kita bisa menjamin bahwa kita telah melakukan yang terbaik. Kegagalan bukan lagi akhir dari segalanya, melainkan umpan balik untuk merencanakan ulang dan berikhtiar dengan cara yang berbeda. Setiap jatuh, kita belajar untuk bangkit lagi, bukan karena kita yakin akan berhasil, tetapi karena itulah satu-satunya peran yang bisa kita jalankan.
Ketika kita memahami bahwa segala yang kita miliki – mulai dari kesehatan, rezeki, keluarga, hingga kesempatan – adalah titipan atau anugerah, maka rasa syukur akan tumbuh lebih dalam. Kita tidak lagi menganggap enteng apa yang ada, sebab kita tahu semua itu bisa saja ditarik kembali. Keberhasilan menjadi momentum untuk bersyukur, bukan untuk jumawa. Musibah menjadi pengingat akan keterbatasan dan pelajaran untuk lebih mendekatkan diri. Setiap detik kehidupan adalah anugerah yang patut disyukuri, bukan hak yang sudah seharusnya ada.
Kesadaran akan keterbatasan diri juga meningkatkan empati dan kualitas hubungan sosial. Ketika kita menyadari bahwa kita pun rentan, tidak abadi, dan bergantung pada banyak faktor di luar kendali kita, kita menjadi lebih mudah memahami penderitaan dan perjuangan orang lain. Keangkuhan atau kesombongan memudar, digantikan oleh kerendahan hati dan keinginan untuk saling membantu. Kita menyadari bahwa dalam perjalanan hidup ini, kita saling membutuhkan, karena kita semua adalah "pemilik" sementara yang sama-sama berikhtiar.
Banyak orang lumpuh karena ketakutan akan kegagalan. Namun, jika kita memahami bahwa hasil bukanlah mutlak kuasa kita, maka kegagalan tidak lagi menjadi momok yang menakutkan. Kegagalan hanyalah salah satu kemungkinan hasil dari sebuah ikhtiar. Yang terpenting adalah kita telah berani mencoba, berani merencanakan, dan berani berjuang. Pemahaman ini memberi kita keberanian untuk mengambil risiko yang terukur, mencoba hal-hal baru, dan melangkah keluar dari zona nyaman, karena kita tahu bahwa nilai kita tidak ditentukan oleh hasil semata, melainkan oleh proses dan upaya yang telah kita lakukan.
Pada akhirnya, kesadaran bahwa manusia tidak memiliki apa-apa selain kemampuan untuk berencana dan berikhtiar adalah fondasi kebijaksanaan. Ia memandu kita untuk hidup dengan lebih sadar, lebih bersyukur, lebih tangguh, dan lebih bermakna. Ini adalah filosofi yang membebaskan, memungkinkan kita untuk menari di tengah ketidakpastian, dengan keyakinan penuh pada proses dan kerendahan hati pada setiap hasil yang datang.
Baca Juga: Harapan Selalu Merekah, Meski Tantangan Datang Menjajah
0 Komentar